
Salah satu judul lagu dari Banda Neira tersebut sedikit menyadarkan saya bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang diciptakan dengan sia-sia, termasuk dengan kisah-kisah silam kita, tentang kekerasan dalam bentuk apapun yang kita alami.
Bagiku, hal yang paling berat dalam hubungan yang dilandasi dengan kekerasan adalah tentang penerimaan, karena berat sekali rasanya menerima kenyataan bahwa pasangan yang kita sayangi ternyata melakukan kekerasan – yang entah kita sadari atau tidak-.
Begitu juga dengan kejadian yang menimpaku selama setahun belakangan ini. Hal yang ku tahu, cinta itu seharusnya saling menguatkan, saling mendukung, saling menghargai, dan saling menyayangi. Tapi, pada kisahku ini, aku menemukan seorang lelaki yang mencintaiku dengan berdalih bahwa karena ia takut kehilangan, lalu ia tega melakukan kekerasan psikis terhadapku.
Kalian tahu posesif? Ya, dia sangat posesif terhadapku, awalnya memang terasa menyenangkan, betapa aku merasa sangat disayangi dan dicintai olehnya.
“Aku takut kehilangan kamu” itu kata-katanya yang sempat membuatku meleleh di awal-awal masa pacaran, sehingga setiap tindakannya aku rasa merupakan bagian dari kasih sayangnya. Semua berjalan dengan baik-baik saja, sampai pada akhirnya aku menyadari ada yang salah pada kata-katanya itu:
“Aku mau tahu password semua medsosmu dong”
“Itu yang chat kamu siapa sih? Sok akrab banget”
“Kamu jangan kebanyakan unggah foto di IG dong, aku nggak mau kamu dilihat lelaki lain”
“Kamu mau main ke mana? Kalo sama cewek boleh, sama cowok nggak usah ya”
“Kamu lagi dimana sekarang? Share location dong. Aku ke sana sekarang”
Awalnya aku berpikir bahwa hal itu wajar, dia menyayangiku dan begitu sebaliknya. Aku juga tidak merasa diperlakukan tidak adil, mungkin memang benar ada istilah kalau cinta itu buta, aku tak dapat membedakan yang mana cinta dan bukan. Semakin hari sifat posesifnya semakin menjadi-jadi, karena ia mengetahui semua password media sosialku, aku menemukan bahwa ia meng-unfollow semua teman lelakiku di instagram. Selain itu, ia juga mengirimkan chat-chat balasan kepada laki-laki yang mengechatku di facebook.
“Jangan ganggu dia, dia punya gue”
“Gue pacarnya, gak usah sok caper”
Ia mengirimkan balasan seperti itu baik kepada lelaki yang memang aku kenal maupun tidak. Dari situ aku mulai merasa risih, ia mengetahui semua batas privasiku. Ia juga rajin mengecek ponselku, membaca chat-chat yang ada di whatsapp, dan lainnya.
“Ini siapa? Kok chatting sama cowok sih?”
“Aku nggak suka kamu berteman sama dia ya, udah nggak usah main lagi”
Hal-hal kecil seperti itu lama-lama menumpuk, ia semakin menjadi-jadi, dan aku semakin gerah dengan sikapnya. Biasanya aku hanya diam dan menuruti semua keinginannya, namun aku merasa sudah tidak kuat lagi, aku marah padanya.
“Aku nggak suka kamu terlalu posesif sama aku”
Kata-kataku memancing kemarahannya, beberapa kali saat aku mengutarakan apa yang aku rasakan, ia akan marah besar. Ia menyalakan mesin motornya dan mengebut di jalanan, padahal ada aku diboncengnya. Beberapa kali aku berteriak ingin berhenti, ia semakin beringas, kami hampir manabrak seorang ibu menyebrang, papan jalan, dan pengemudi lainnya. Ia juga sering menarik tanganku agar tidak pergi, dan itu membuatku sakit. Barulah ketika aku menangis ia akan menghentikan sepeda motornya. Itu terjadi berulang-ulang. Terlebih ketika aku ingin meninggalkannya, memutuskan hubungan yang sudah satu tahun kami lalui. Ia menangis, memintaku jangan pergi. Hal ini membuatku iba dan tidak bisa meninggalkannya –entah untuk kali keberapa-.
Namun, kini aku memiliki keberanian yang lebih dari biasanya. Sebab untuk apa mempertahankan hubungan yang tidak dilandasi dengan kepercayaan, sebuah hubungan yang disesaki rasa curiga berlebih dan posesif yang tak baik. Aku memiliki kehidupan baru sekarang, ada banyak teman, keluarga, saudara, yang mendukung dan memberi motivasi padaku. Yang patah tumbuh, yang hilang berganti. Kelak, akan ada lelaki baik yang dikirim Tuhan untukku, aku percaya itu.
(CSN)