
“Tidak ada manusia yang sempurna… dimaklumi saja. Kalau terlalu banyak memilih, kamu mau menikah di umur berapa?”
“Jadi perempuan itu nggak usah kepengen yang muluk-muluk, nanti laki-laki pada kabur, minder…”
Entah sudah berapa puluh kali nasehat sesat itu saya dengar. Bahkan saat saya masih melanjutkan studi S1 saya dan kedua adik saya belum mandiri secara finansial. Ya, seolah usia 25 tahun adalah usia sakral, masa dimana seseorang “wajib” melepas masa lajangnya. Apapun kondisinya.
Definisi hubungan yang keliru…
Saya sempat terjebak dengan hubungan yang keliru. Keliru menurut saya, tidak benar bagi sebagian orang, tapi juga wajar bagi sebagian lainnya. Pacar saya waktu itu sempat menyatakan ketidaksukaannya pada kegiatan komunitas yang saya ikuti. Tak sampai disitu, dia juga tak segan membentak dan berkata kasar pada saya di depan umum. Padahal saat itu, usia pacaran kami baru menginjak bulan keenam.
“Kamu urus diri sendiri saja dulu… Ngapain repot-repot ngurusin orang lain, ngajar anak-anak SD, kamu urus diri sendiri juga belum becus,” begitu ucapnya saat saya mengutarakan niat saya untuk mengikuti salah satu kegiatan sosial diluar kota.
“Kerja melulu… Heran saya, yang ada di otak kamu itu duit dan duit,” ungkapnya saat saya memberi tahunya kalau saya harus bekerja di akhir pekan.
Banyak orang pura-pura bisu, buta, dan tuli…
Saya mencoba mengutarakan apa yang saya alami pada orang terdekat saya. Hasilnya sungguh di luar dugaan saya. Sebagian besar dari mereka menganggap itu biasa. Bahkan ada yang berpikiran kalau perilaku kasar akan berubah setelah pernikahan. Beruntungnya, masih ada sedikit orang yang “waras” di antara banyaknya orang yang pura-pura bisu, buta, dan tuli. Orang yang “waras” ini beranggapan kalau tindak kekerasan dalam rumah tangga atau dikenal dengan istilah KDRT, sebenarnya bisa dicegah dengan mengenali perilaku pasangan saat masih pacaran. Apa yang dilakukan oleh pasangan saya saat itu ada kemungkinan menjurus ke arah yang lebih serius saat sudah menikah nanti.
Setelah saya merenung , saya memutuskan untuk mengakhiri hubungan yang menurut saya tidak sehat dan menghambat perkembangan diri saya. Banyak yang menyayangkan keputusan saya, karena pasangan saya dikenal cukup “baik” dan “santun”. Sedikit orang yang mendukung saya waktu itu, justru memberi kekuatan serta keyakinan pada saya kalau keputusan yang saya ambil adalah benar.
Saya tidak menyesal dengan keputusan saya…
Buat perempuan di luar sana yang mungkin mengalami kejadian serupa atau bahkan mungkin lebih parah, saya tahu dan cukup sadar kalau memang mengakhiri hubungan yang terlihat “baik” di mata orang kebanyakan bukanlah hal yang mudah. Apalagi kalau orang di sekitar kita belum teredukasi dengan cukup baik tentang arti pentingnya hubungan yang sehat bagi kesehatan mental, serta menganggap pernikahan adalah sebuah status “penyelamat”. Saat dalam kondisi gamang, satu hal yang membuat saya sadar adalah tanggung jawab saya terhadap kehidupan yang telah diberikan Tuhan pada saya.
Saya berharga dan tidak seharusnya saya mendapatkan perlakuan tersebut…
Salah satu alasan mengapa saya sempat membiarkan diperlakukan secara kasar adalah adanya self esteem saya yang rendah, sehingga saya tidak berani menolak atau sekedar membela diri saat mendapatkan perlakuan yang tidak semestinya. Saat itu saya memang “membiarkan diri” saya diperlakukan sedemikian rupa karena memang merasa saya pantas mendapatkannya.
Support system yang tepat telah membuka mata saya dan menyadarkan saya kalau diri saya berharga dan tidak seharusnya diperlakukan sedemikian rupa. Saya berhak berkata “TIDAK” tanpa rasa bersalah, karena saya berhak untuk merasa AMAN dan NYAMAN. Bertanya tentang sesuatu yang tidak saya mengerti tanpa takut dicap bodoh, berkata “tidak” tanpa takut dimusuhi, menyatakan ketidaksukaan dengan santun tanpa merasa bersalah, dan melakukan kegiatan yang saya suka tanpa merasa terbebani kalau ada orang-orang yang merasa keberatan.
Be brave! Hidup hanya sekali dan kamu berharga.
(Rahajeng)