Skip to content

Mendengar itu Menyelamatkan

Mendapat kekerasan dari orang yang kita sayang merupakan pengalaman yang buruk dan dilematis. Perasaan bingung, dan depresi tak jarang menghantui saya sebagai korban intimate partner violence, lantaran memiliki kedekatan emosi dengan sang pelaku. Sekitar 2,5 tahun lalu saya mulai menyadari jika saya sedang terjebak dalam hubungan yang beracun yang sudah saya jalin selama setahun.

Menyangkal adalah hal pertama saya lakukan.

Saya terus memberikan pemakluman atas kekerasan verbal dan seksual yang saya terima sebagai bentuk lain dari ungkapan sayangnya. Saat itu saya sebagai mahasiswa tingkat akhir Psikologi dan aktif di berbagai organisasi sosial pun merasa gengsi mengakui bahwa saya pun adalah korban.


Enam bulan berlalu dan relasi dengan pasangan semakin memburuk. Teman-teman terdekat pun menyadari perubahan signifikan pada diri saya. Biasanya saya dikenal sebagai orang yang ceria dan asertif, namun saat itu saya menjadi penyendiri, uring-uringan dan sangat patuh terhadap perkataan pasangan saya. Pernah dua kali saya melewatkan kesempatan mengikuti konferensi internasional yang saya impikan dengan alasan pasangan melarang karena takut saya akan menjadi sombong. Alasan yang konyol dari seorang insecure, dan lucunya saya turuti begitu saja waktu itu. Salah seorang sahabat yang terus menunjukkan kekhawatirannya terhadap saya akhirnya meluluhkan hati saya. Saya pun memutuskan untuk berani bercerita tentang pengalaman kekerasan yang saya alami.

Alih-alih mendapat pertanyaan kepo bernada penghakiman, “kok bisa?” atau pernyataan standar, “yang sabar saja, ya”, saya merasa lega bahwa teman saya tersebut mau mendengar dengan cermat dan tetap menjaga rahasia. Hal sederhana yang berarti banyak bagi saya.


Secara bertahap, sang sahabat pun terus mengingatkan saya tentang betapa berharganya saya, hal yang sudah lama saya lupakan saat menjalin hubungan tak sehat tersebut. Sang sahabat juga memberikan berbagai informasi layanan psikologis di internet yang membuat saya yakin dapat berdaya dan bisa mengambil keputusan dengan tepat secara mandiri. Pada akhirnya, saya pun berani untuk keluar dari jerat dengan mengakhiri hubungan dan menerima konsekuensi berupa fitnah dari si pelaku kekerasan tersebut. Ya, hal tersebut dapat saya lalui berkat dukungan dari adanya support system.

(EA)