
Betapa menjadi perempuan dengan berbagai aktivitas merupakan sebuah hal yang kuanggap “mahal” sebab aku yakin tidak semua perempuan merasakan dan mendapatkan akses untuk bertumbuh pada ruang-ruang yang memiliki dampak baik terhadap dirinya. Kesadaran untuk menjadi pribadi yang tangguh di antara berbagai antrian agenda yang tidak hanya membutuhkan tenaga fisik, tetapi tenaga pikiran membuatku semakin tidak sempat memikirkan hal lain kecuali waktu istirahat untuk diriku sendiri. Kebiasaan-kebiasaan itu aku alami dan kunikmati selama 2 semester pertama menjadi mahasiswa. Siapa sangka, di tengah perjalananku dalam melakukan aktivitas di berbagai agenda, akhirnya aku menemukan seseorang yang kusebut sebagai tambatan hati.
Pada masa awal membangun hubungan, kami nampak asyik dan sangat supportif satu sama lain. Akan tetapi, seiring waktu semakin banyak perubahan dalam hubungan kami. Apalagi dengan kesibukan dan tanggung jawab besar di lingkungan organisasi kami masing-masing. Dimulai dari dia yang melakukan silent treatment kepadaku hingga berbulan-bulan. Perlakuan itu sangat menguras tenaga dan pikiranku, sedang di sisi lain aku harus tetap mengurusi deretan agendaku. Tidak jarang aku sampai jatuh sakit dan harus mendapatkan rawat inap di rumah sakit. Bahkan, saat keadaanku sedang berada di titik paling lemah pun, laki-laki yang kuanggap sebagai tambatan hatiku ini tidak kunjung datang menjenguk atau bahkan sekedar menanyakan kabarku. Aku mengira setelah keadaanku kembali pulih dan sehat, semua masalah akan selesai begitu saja. Namun kenyataannya dia begitu banyak mencercaku karena aku tetap ingin mengikuti agenda dengan dalih “perhatian”. Sayangnya, saat itu aku hanya ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa.
Waktu berjalan, hubungan kami tetap berlanjut. Berbagai agendaku keluar kota dalam melakukan kegiatan organisasi pun tetap aku lakukan. Akan tetapi, tak jarang dia mengatakan bahwa apa yang kudapatkan di organisasi hari ini adalah berkat dirinya, tanpa dirinya aku tidak bisa melakukan dan mendapatkan apa-apa. Dari situlah aku mulai berfikir, bahwa semua bentuk perjuanganku atas diriku sendiri ternyata menjadi pengakuan atas upaya dirinya.
Beberapa kali dia sempat diketahui melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain. Maka bukan permintaan maaf yang aku terima. Ia justru malah memutar balikkan fakta dan mengatakan kepada banyak orang bahwa aku yang melakukan perselingkuhan. Manipulasi dan gaslighting terus menerus terjadi. Saat itu aku merasa benar-benar menjadi seseorang yang paling bersalah di dunia ini. Aku sempat berfikir untuk mengakhiri hidupku karena merasa bahwa tidak ada gunanya hidup. Akan tetapi, teman-teman dekatku datang dengan memberikan banyak sekali support untuk aku bisa bertahan. Sampai akhirnya aku bisa terlepas dari dirinya.
Sempat rasanya sulit untukku memulai hari. Akan tetapi, perasaan itu muncul di dua – tiga bulan pertama pasca kami menyelesaikan hubungan kami. Perlahan, aku kembali menjadi diriku sendiri. Aku bisa menyelesaikan tugas akhirku tepat waktu. Kini aku lebih mudah membangun relasi dan komunikasi tanpa takut dan khawatir ada yang cemburu dan marah denganku. Aku kembali menjadi diriku yang ceria dan penuh semangat dalam menjalankan berbagai rentetan agendaku. Aku juga menjadi pribadi yang bisa memberikan positif vibes kepada teman-temanku yang sedang berada pada hubungan yang tidak sehat.
Sejak saat itulah, aku menyadari bahwa;
Mencintai diri sendiri menjadi jauh lebih penting sebelum kita memberikan cinta kepada orang lain.
Sejatinya, tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini. Akan tetapi, dengan fokus kepada diri sendiri, berupaya dan melakukan kebaikan untuk diri sendiri maka tidak akan ada penyesalan sedikitpun setelahnya. Aku belajar, dunia terkadang dapat berlaku kejam kepada diri kita, namun jangan pernah berlaku kejam terhadap diri sendiri. (Deee)