
Dia bukan oksigen-mu. Percayalah, kamu tidak akan mati tanpanya.
Masa-masa SMA-ku tidak seperti masa SMA pelajar pada umumnya, semuanya berubah karena aku menjalin hubungan dengan teman sekelasku, yang ternyata seorang posesif. Saat itu aku masih berumur 16 tahun, hasil belajar yang aku dapatkan dari setiap mata pelajaran selalu memuaskan, aku juga anak yang mudah bergaul, easy-going, sopan dan karena aku bersekolah di sekolah yang sama sejak SD, guru-guru beserta staff sudah mengenalku dan keluargaku. Akan tetapi, perlahan-lahan sifatku mulai berubah karena kenal dengan perasaan cinta.
Aku mau lebih dikenal, aku juga mau seperti teman-temanku, aku juga mau diberi kejutan-kejutan kecil tiap harinya.
Pasangan pertamaku adalah teman sekelasku, bertubuh gempal dengan kulit gelap yang selalu terkena teriknya matahari karena suka mengendarai sepeda motor, susah sekali untuk diajak belajar, nilai-nilai dia selalu di bawah target, temperamen dan pembuat onar. Aku dan dia tidak pernah akur, kita selalu membantah dan membalas perkataan satu sama lain, tetapi entah apa yang membuat dia tetarik padaku, pelan-pelan dia mulai berubah, hampir setiap hari membawakan cemilan kesukaanku saat di kelas, mulai sering menghubungiku lewat aplikasi Line, bertanya soal pelajaran, dan memberiku hadiah-hadiah kecil di loker seperti boneka, bunga, dan coklat. Aku pun mulai luluh.
Aku yang saat itu begitu naif, mengiyakan ajakan dia untuk menjalin hubungan lebih dekat. Teman-temanku juga senang ikut merayakan, aku hanya tersenyum sambil memegang buket bunga dan boneka, menatap balon huruf yang membentuk kalimat ‘I LOVE YOU’ di kantin sekolah. Seminggu pertama, semua tidak ada yang berubah, aku masih sering bercanda dan bercerita dengan semua teman-temanku termasuk yang laki-laki, tertawa terbahak-bahak, dan belajar dengan rajin, hanya jam tidurku yang berkurang karena tiap malam, aku dan dia selalu berbicara lewat telfon.
Dua minggu, tiga minggu berikutnya, dia mulai curiga apa aku punya hubungan khusus dengan teman laki-laki lainnya di kelas. Jelas tidak, aku menjelaskan, tetapi dia mulai membantah, balik marah, dan akhirnya kami tidak bertukar kabar untuk seminggu lamanya, perlakuan dia di kelas pun berubah, membuang mukanya tiap mata kami bertemu, setiap aku panggil dia pura-pura tidak mendengar, tiap aku menahan tangannya, selalu dikebas. Aku sudah mencoba menghubungi berpuluh-puluh kali lewat telfon, sms, chat, semua diabaikan. Teman-teman mulai bingung dan bertanya, aku yang saat itu juga bingung hanya bisa menunggu kapan amarah dia reda. Malam itu malam senin, aku mencoba menelfon dia sekitar jam 9 malam, karena tidak diangkat aku pun tidur. Sekitar jam 2 pagi, dia menelfon, saat ku angkat nada bicaranya marah, aku yang saat itu bingung dan mengantuk hanya diam mendengarkan,
“Kenapa kamu ga nelfon aku lagi? Pasti telfonan sama cowomu yang baru kan?” tuduh dia di seberang sana.
Pelan-pelan teman-teman laki-lakiku di kelas mulai menjauhi aku karena tidak enak dengan pasanganku, karena pasanganku ini bisa dibilang boss geng anak laki-laki di kelasku. Teman-temanku tinggal teman perempuan yang hanya berjumlah 6 orang. Total murid di kelasku hanya 16 orang, sedangkan teman-teman perempuanku suka berbaur dengan laki-laki, dan akhirnya membuatku kesulitan berteman dengan mereka.
Memasuki 4-5 bulan, aku benar-benar dibatasi, aku tidak boleh mengobrol, melihat atau bahkan duduk bersebrangan dengan laki-laki. Bahkan akun instagram dan line aku dihapus oleh dia, wallpaper HPku harus foto dia, profile picture akun sosial media aku harus foto dia atau foto kami berdua. Aku berubah drastis, aku menjadi lebih pendiam, murung, prestasiku menurun karena banyak lomba-lomba yang aku tolak karena aku dipasangkan dengan laki-laki. Jam tidurku berkurang drastis. Hampir tiap hari kami selalu ribut, sampai pernah dia mendorongku dengan keras.
Aku malu.
Semua teman-temanku memalingkan muka, pura-pura tidak tahu, satu-dua membantuku berdiri. Semua teman-temanku sudah menyarankan aku untuk menyudahi hubungan ini, aku yang entah kenapa benar-benar tersihir, benar benar tidak bisa keluar dari lingkaran hubungan ini. Aku bisa berfikir logis, aku tahu saat itu aku sama sekali dirugikan, hubungan ini adalah hubungan yang tidak sehat, tapi ada satu alasan yang membuatku tidak bisa melepaskan dia, karena aku sudah memberikan segalanya untuk dia. Aku takut aku dia akan membeberkan semuanya, aku benar-benar takut dan bingung harus bercerita pada siapa.
Selama dua tahun aku bertahan dengan pilihan ini, waktu sekolah terasa lama sekali, aku tidak bisa fokus belajar, hanya menunduk dan selalu berusaha menjaga mood dia, sesekali dia mendorong atau meremas tanganku dengan kuat sampai berbekas, atau jalan-jalan dengan perempuan lain. Aku tidak bisa bercerita pada kedua orang tuaku mengapa aku tidak bisa melepaskan dia. Aku juga tidak bisa bercerita pada teman-teman perempuanku.
Sampai pada akhirnya, dia selingkuh dengan adik kelasku. Aku yang saat itu mengetahui, lega karena akhirnya aku bisa keluar dari hubungan ini. Sejak hari itu, aku menganggap dia tidak ada di muka bumi ini, aku mengakrabkan diri lagi dengan semua teman-teman di kelas, memojokkan dia sendiri. Sampai akhirnya kami lulus.
Apa kini aku bahagia sekarang? Ya, aku bahagia.
Hari ini aku sudah tidak terbebani lagi dengan masa lalu, aku sudah dapat keluar dari masa-masa yang kelam itu, berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi dari kemarin, dengan sosok baru yang ikut membantuku. Mungkin karena pengaruh lingkungan dan kesibukan kuliah yang aku jalani tiap harinya membuatku mudah melupakan dia. Penyesalan selalu ada, tetapi mau di kata apa, nasi sudah menjadi bubur, ambil hikmahnya, jadikan pelajaran, jangan diulangi lagi.
Terima kasih karena telah membaca cerita ini, semoga bisa dijadikan pembelajaran untuk semua, ambil yang positif dan buang yang negatif. Untuk teman-teman yang memiliki pengalaman serupa, jangan takut, kamu tidak sendiri. Aku tahu ini sulit, tapi kalau aku bisa keluar, kenapa kamu tidak? Dia bukan oksigen-mu.
Percayalah, kamu tidak akan mati tanpanya.
(YAA)